Senin, 03 November 2008

INDONESIA DALAM GENGGAMAN NON-STATE ACTOR

INDONESIA DALAM GENGGAMAN NON-STATE ACTOR


Indonesia, adalah sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alamnya sehingga diperkirakan sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, namun Indonesia menjadi negara yang terlihat miskin karena tidak didukung oleh sumberdaya manusia yang cukup baik untuk mengolah sumberdaya alam trsebut seefektif dan seekonomis mungkin. Sehingga Indonesia menjadi salah satu sasaran empuk bagi banyak negara-negara maju untuk dijadikan sebagai sasaran pemasaran bagi produk-produk mereka.
Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang memiliki struktur domestik yang lemah karena dilihat dari struktur sosialnya, Indonesia sangat banyak memiliki organisasi sosial sehingga masyarakat dapat mengontrol pemerintah dan melakukan diskusi dengan pemerintah mengenai suatu kebijakan yang akan di terapkan. Selain itu, dari sisi struktur pemerintahannya juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat karena adanya fragmentasi kekuasaan yang berarti kekuasaan di Indonesia di pegang oleh banyak orang, dengan maksud supaya Indonesia dapat menjadi negara yang demokratis. Namun karena masyarakat belum memahami benar bagaimana cara berdemokrasi dan menjadi negara demokratis yang benar, sehingga ini mengakibatkan struktur pemrintahan di Indonesia malah menjadi lemah terhadap serangan politik dari negara-negara luar. Ditambah lagi policy networks yang tidak bekerja terlalu baik dalam mengkomunikasikan aspirasi rakyat kepada pemerintah karena biasanya mereka lebih mementingkan kebutuhan partai mereka sendiri daripada kebutuhan rakyat.
Dari analisis di atas, saya menyimpulkan bahwa aktor-aktor non-state mudah masuk ke Indonesia, baik melalui struktur pemerintahan maupun struktur sosialnya. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar yang sangat disenangi oleh para aktor-aktor non-state tersebut. Namun ini akan bom waktu akan kehancuran bangsa Indonesia yang terus-menerus berada dalam genggaman aktor-aktro non-state tersebut. Karena masuknya non-state aktor tersebut bukanlah sekedar masuknya perusahaan asing ke Indonesia saja, karena secara tidak sadar kita juga menjadi korban perampokan secara terang-terangan oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut. Karena sebagian besar perusahaan-perusahaan nonstate tersebut adalah milik negara-negara maju seperti AS, Jepang, Inggris, dan Jerman.
Kemunculan gerakan civil society (NGO’s) plus people power yang mengglobal, akibat tekanan global di satu pihak dan kran demokrastisasi yang mengglobal di pihak yang lain, bukanlah sesuatu yang tidak mengancam bagi negara-negara demokrasi yang berkomitmen mempertahankan agenda demokrasi. Melainkan, “sebuah gerakan” yang lambat-laun akan terus bermetamorfosis menjadi sebuah revolusi social (politik), seiring dengan terbatasnya energi kesabaran mayoritas warga dunia (negara-negara miskin dan berkembang) dan semakin mengguritanya kekuatan kapitalis global menghisap sumberdaya ekonomi dari warga dunia tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah Indonesia sebagai “pasien” dari agen utama kapitalis global.
Menjamurnya NGO karena adanya perkembangan ekonomi, sosial, dan politik baik tingkat global maupun nasional, tidak menjadi persoalan bahkan dalam kondisi tertentu memang sebuah langkah yang tepat. Yang menjadi persoalan adalah jika tumbuhnya hanya disandarkan dengan semakin meningkatnya dana bantuan asing. Dana bantuan dari lembaga-lembaga non pemerintah yang berasal dari Eropa atau Amerika, mempunyai kepentingan masing-masing dalam penyaluran dana tersebut. Mereka menggunakan NGO lokal sebagai mitra untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Ada yang secara sungguh-sungguh membantu dalam bentuk financial, kerjasama dalam jaringan advokasi, maupun penguatan grassroot. Tapi banyak pula yang bantuan tersebut sebagai langkah untuk meratakan jalan bagi kepentingan agenda neoliberalisme. Dalam hal ini, mungkin perlu menengok warning dari James Petras soal agenda terselubung ini. Dalam tulisan “ Imperialisme and NGO in Latin America” Petras menyebutkan bahwa antara NGO dan lembaga penganjur neoliberalisme seperti World Bank terdapat kesamaan dalam melawan kekuasaan di tangan negara.
Pendulum kekuasaan dalam beberapa dekade ini telah berubah, sehingga pandangan dan strategi gerakan juga perlu diubah. Pada awal kemunculan NGO, memang kondisi sosial politik dan juga ekonomi di negara selatan masih bertumpu pada kekuasaan negara diktator, sehingga arah bidikan NGO juga ke negara. Maka waktu itu program yang ramai adalah bagaimana mengontrol kekuasaan negara, tuntutan pers yang bebas, tuntutan kebebasan berorganisasi, advokasi terhadap kekerasan negara, dsb. Sekarang pendulum kekuasaan telah beralih ( tentu tidak sepenuhnya) ke perusahaan-perusahaan multinasional (MNC &TNC) yang mempunyai modal yang besar untuk mempengaruhi kebijakan negara, mempreteli kekuasaan negara, dan pada akhirnya mendikte negara. Dengan kekuasaan yang demikian besar, TNC tersebut bisa membayar aparat keamanan negara untuk menjaga kepentingan mereka. Bahkan, melalui tekanan yang demikian kuat mereka berhasil membujuk dan memaksa pemerintah untuk mengikuti kemauan mereka, yang padahal itu akan menyengsarakan rakyat sendiri. Mungkin kasus Freeport dan Blok Cepu bisa dijadikan contoh soal pendulum kekuasaan yang telah berubah.
Dari 50 MNC terkenal, 21 berbasis di Amerika Serikat yang menguasai 54% dari total penjualan dunia, disusul dengan Jerman 10 %, Inggris 9%, Jepang 7%, Perancis 6% dan Belanda 5%.Sepertiga dari perdagangan dunia didominasi oleh MNC, yang ternyata melakukan perdagangan di antara mereka sendiri. PBB memperkirakan 50% dari ekspor AS terjadi di antara MNC mereka sendiri, sementara Inggris mencapai 30%-nya. Ketika pelaku bisnis bertindak bersamaan sebagai pembeli dan penjual, maka mekanisme pasar tidak dapat diterapkan terhadap mereka. Karena si pengusaha dapat menentukan harga menurut selera mereka sendiri. Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, maka para negara maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol sumber-sumber (resources) di dunia. Lewat tangan WTO, mereka mengatur kebijakan perdagangan dunia; lewat tangan lembaga keuangan multilateral, mereka dapat menentukan negara-negara dan siapa saja yang dapat menikmati kucuran uang lembaga keuangan itu. Lewat aturan IMF, mereka dapat menekan negara-negara untuk mengikuti ‘resep’ mereka: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.

Tekanan deregulasi yang diusung setiap kali akan memberikan pinjaman, sesungguhnya lebih untuk memaksa negara-negara berkembang dalam menyesuaikan aturannya dengan ‘kehendak’ negara-negara maju. Lewat kebijakan WTO misalnya, pemerintah-pemerintah negara berkembang harus menyesuaikan aturan nasional mereka yang berkenaan dengan Hak Cipta. Salah satu kritik utama atas kebijakan hak cipta dalam WTO adalah tidak mengakuinya hak-hak cipta yang dilakukan oleh petani local ataupun masyarakat adat (indigenous peoples).sehingga tidak ada perlindungan ekonomi atas ciptaan mereka.

Sementara lewat desakan IMF yang biasanya tertuang tertuang dalam LOI (Letter of Intent) aturan-aturan perpajakan yang mendukung pasar bebas diterapkan, Demikian pula aturan-aturan yang dianggap menghambat kepemilikan global atas sumberdaya alam harus pula diubah. Indonesia telah cukup lama mengalami tekanan IMF, dengan dipaksa lahirnya UU Kehutanan dan UU Migas, dan UU tentang ketenagalistrikan. Warna ketiga UU di atas sangat jelas menuju pada pembongkaran monopoli negara atas sumber daya alam, dengan mengijinkan swasta untuk turut mengelola sumber tersebut.

Syarat-syarat adanya deregulasi, privatisasi dan liberalisasi adalah syarat dasar yang ditekankan oleh aliran pendukung neo-liberal, yang sekarang menguasai perekonomian dunia. Setelah tekanan untuk mengadakan aturan-aturan hukum yang mendukung pasar bebas, langkah selanjutnya adalah mendorong swastanisasi. Desakan swastanisasi perusahaan-perushaan milik negara (BUMN) dengan segala dalihnya semakin menguat di Indonesia. Dari 14 BUMN yang akan diswastakan, sangat terlihat bahwa yang mendapat prioritas untuk diswastakan adalah BUMN yang menguntungkan, seperti PLN, Angkasa Pura (pengelola jasa Bandar udara), Telkom, PAM (air minum), BCA dan Bank Niaga (jasa perbankan) dan industri semen (Semen Padang, Semen Gresik dan Semen Tonasa). Yang luput dari proses swastanisasi di Indonesia adalah tidak adanya aturan yang baku sebagai batasan kerja, apalagi desain strategi swastanisasi yang transparan, partisipatif dan akuntabel. Maka tidak aneh, jika setiap hari unjuk rasa anti swastanisasi terus berlangsung.

Sektor pertambangan adalah lumbung rejeki yang selama ini memperbesarkan kantong2 imperialis, sejak jatuhnya rejim nasionalis Soekarno dan Soeharto naik; sektor pertambangan telah menjadi upeti utama bagi imperialis; masuknya Freeport tahun 1968, Newmont, Astra International, ExxonMobil, Shell, Petronas, Total, Chevron, dan Texaco semakin menjelaskan kuatnya dominasi imperialisme Indonesia dan merampas kedaulatan negara kita. Legitimasi lewat Undang-Undang Migas tahun 2001 untuk memberi keleluasaan MNC/TNC Migas untuk menjarah kekayaan Migas kita.

Konglomerasi para pengusaha makanan asing di Indonesia juga dapat membahayakan pola konsumsi. Mereka memasarkan minuman soft drink, junk food, dan memasarkan minuman beralkohol atau rokok yang tidak layak dikonsumsi. Nestle yang berbasis di Swiss diduga kuat telah merusak pola konsumsi bayi di negara ketiga dengan memaksa minuman susu formula, dan baru-baru ini memakai bahanbahan transgenic. Etika para konglomerat global ini juga patut dipertanyakan, karena selalu didasarkan prinsip ekonomi: “Memberi sedikit mungkin, mendapat sebanyak mungkin”. Investigasi yang dilakukan kongres Amerika ditahun 1977 menyingkap 360 pengusaha di Amerika yang mengakui telah menyogok negara-negara asing dimana mereka beroperasi. Lebih buruk lagi, kadang mereka membantu rezim setempat untuk urusan politik. Shell –perusahaan minyak Amerika-- mendukung rezim militer, demikian pula Mobil Oil di Aceh yang mengijinkan arealnya dipakai sebagai basis militer.

Dari penjabaran di atas sudah menunjukkan bahwa masuknya aktor-aktor non-state ke Indonesia tidak hanya untuk melakukan bisnis semata saja, melainkan adalah jalan lain bagi para negara-negara maju untuk sedikit demi sedikit menguasai kedaulatan negara Republik Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Mungkin ini bisa dikatakan sebagai nasib menjadi negara berkembang yang miskin, selalu serbasalah dalam mengambil keputusan. Di satu sisi pemerintah membutuhkan dana bantuan dari negara-negara maju untuk mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia, namun di sisi lain Indonesia harus menanggung resiko dari pinjaman tersebut yaitu menjadi pion dari negara-negara maju yang justru menyengsarakan rakyat Indonesia. Ini membutuhkan perjuangan kita bersama untuk merubah keadaan Indonesia saat ini, dan itu adalah tugas seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Duit di Internet

boss-mails.com boss-mails.com

Cari Duit Pake klikrupiah.com

Cari Duit di Internet